Jumat, 28 Desember 2012

PULAU GARAM



Pantai Siring Kemuning Pamekasan tempatku tinggal. Hidup di pantai sungguh menyenangkan. Gemuruh ombak dan kicauan burung pantai selalu damai terdengar sebagai musik pembuka setiap pagi dan kadang membuat ‘galau’ jika musim hujan begini. Hati was-was akan datangnya badai tanpa diduga-duga. Membayangkan rumah hanyut bersama air mata yang tiada artinya jika tak punya cukup modal ketegaran.
Suasana petang yang mencekam, angin terdengar jelas berhembus di sela-sela ribuan rintik hujan disertai petir yang menggelegar memekakkan telinga. Terdengar suara sayup-sayup emak memanggilku dari arah dapur.
“Lela, mareh e yangkes bujennah gellek?” (Lela, sudah diambil garamnya tadi?).
Pertanyaan itu membuatku harus menepuk keningku sendiri. Lagi-lagi lupa! Tadi pagi emak memintaku untuk mengamankan garam yang sedang dijemur jika hujan datang. Tanpa menjawab panggilan emak, aku menghampiri tempat garam itu dijemur. Dugaanku benar, garam itu telah meleleh tersentuh air hujan yang begitu derasnya. Dengan wajah pucat pasi aku menghampiri emak yang sedang memasak nasi goreng. Suaraku pelan dan gemetar.
“Kuleh keloppaen, seporannah giy, Mak.” (Saya lupa mak, maaf ya, Mak)
Emak batuk kecil kemudian tersenyum tanda memaafkan, tapi aku tahu pasti dia tak ingin melihatku bersedih. Aku melahap nasi goreng bersama emak dan bapak dengan perasaan sedikit canggung karena kejadian tadi. Namun emak berusaha tenang menutupi musibah tadi di depan bapak.
            Suasana pantai di sore hari membuat hati damai, gemericik ombak yang sedang surut bersahut-sahutan. Mega merah bertengger di ufuk barat mengintip dunia, aku tak ada pekerjaan lain selain membantu emak memasukkan kembali garam yang telah dijemur kedalam rumah. Begitu setiap harinya.
            Man Suleman datang membawa berkat yang telah memenuhi tangannya. Beliau menghampiri aku dan emak yang sedang duduk menikmati semilir angin pantai.
            “Napah gnikah, Man?” (apa itu, Man?) tanyaku penasaran
            “Bedeh titipan derih Man Ja’far gellek, seporannah skunnik.” (ada sedikit titipan dari Paman Ja’far) Jawab Man Suleman
            “Bedeh napah e compo’en Man Ja’far?” (ada acara apa di rumahnya Man Ja’far?)
            “Konjengan, Bibul a sonnat” (Hajatan, Bibul sunnat)
            “Keso’on, Man”(terima kasih, Man)
            Aku meraih berkat itu dan mulai membukanya bersama emak. Emak masuk ke dalam mencari bapak. Kemudian keluar lagi. Tak ku lihat ada bapak di belakangnya.
            “Kammah bapak, Mak? Toreh de’er bereng.” (mana bapak, Mak? Ayo makan bareng)
            “Bapak tedung mloloh, jhek gellek se tedung, la tedung poleh.” (bapak tidur melulu, tadi udah tidur malah tidur lagi)
            Kamipun makan berkat tadi berdua. Ayam panggang, lezat sekali. Perut terasa sesak, tidak kuat untuk berdiri saking kenyangnya.
Terdengar suara Man Qohhar menjajakan sate supernya dengan mengayuh gerobak sate itu. Sate Man Qohhar terkenal dengan bumbu kacangnya yang lezat membuat perutku garuk-garuk lagi.
“Satte..satte…bumbu kacang satte satte….sattenya, Non.” (sate..sate…bumbu kacang sate..satenya, Non) tawarnya kepadaku
“Yahh..Man Qohhar detheng telat. Lela pon de’er ollennah konjengen.”(yahh.. Man Qohhar datang telat. lela udah makan dapat dari hajatan)
“Oye deh…da daa, Non… satte satte…”
...
Suatu hari, keluargaku kedatangan saudara bapak dari Jawa, hanya bapak yang bisa berbincang-bincang dengan mereka menggunakan bahasa jawa. Aku mengerti apa yang mereka bicarakan, tapi aku tidak bisa melafalkan dalam bahasa mereka. Lebih-lebih emak yang hanya bisa melihat mereka bicara tanpa mengerti artinya. Sesekali bapak menerjemahkan omongan mereka agar emak mengerti. Hanya anggukan-anggukan kecil sebagai respon dari emak.
Mereka berkunjung ke Pulau Garam ini untuk menghabiskan waktu liburan selama seminggu lamanya. Terpaksa aku menjadi pengarah jalan dadakan, untungnya aku masih ingat meskipun sedikit jalan-jalan menuju wisata di kota ini, berkat pengalamanku dulu waktu SMA bersama teman-teman seperjuangan. Bila sekolah libur, langsung melancong ke tempat-tempat wisata yang belum tentu banyak orang mengetahuinya ini. Kalau lagi banyak fulus alias gajian dari hasil menjaga toko, langsung bareng-bareng wisata kuliner di dalam kota yang penuh dengan ragam ciri khas ini. Bebek Sinjay makanan favorit khas Bangkalan dan menjadi salah satu ikon Madura dalam kulinernya. Harga tidak mahal bagi yang berduit, kalau bagiku, mendingan makan nasi pecel atau tempe penyet saja kalau belum gajian.
Fajar telah nampak di ufuk timur, aku terbangun dan segera mandi lalu shalat shubuh berjama’ah bersama keluargaku dan keluarga paman. Rencananya, lepas shubuh kita akan berangkat melancong. Aku sudah berias secantik mungkin, tapi tetap saja adikku yang paling bandel, Fandi mengejek.
“Yu Lela paggun jubek.” (Mbak Lela tetap jelek)
“Iyeh, mun Yu jubek, Fandi sajen jubek.” (iya, kalau Yu jelek, Fandi tambah jelek)
Yu adalah panggilan untuk kakak perempuan bagi orang Madura dan Cak panggilan untuk kakak laki-laki. Sedangkan panggilan untuk adik laki-laki adalah Kacong dan Nik untuk adik perempuan.
“ciyuuuss?? Miepah?” sahut Fandi dengan centil.
“hahh?! Nak-kanak kinnik la ajer bahasa tak genna yeh…jhek biasa agih, Cong.” (hahh?! Anak kecil kok sudah belajar bahasa yang nggak beres ya…jangan dibiasakan, Cong.”
. Tiba-tiba datang Farhan, anak Man Sholeh yang berumur sekitar 5 tahun dengan kaki setengah agak pincang seperti menahan pipis. Mukanya terlihat kusut dan dahinya terlipat.
“Entarrah demmah, Cong?” (mau kemana, Cong?)
“Pundhi jedenge nggeh, Mbak?” (mana kamar mandinya ya, Mbak?)
 Untuk kali ini aku benar-benar tidak tahu, apa artinya bahasa jawa itu. Kayaknya sih itu bahasa jawa yang kromo inggil, seingatku pada pelajaran bahasa daerah waktu SD. Tapi satu kata yang aku tangkap, yaitu jeddeng sama dengan bahasaku yang artinya kamar mandi. Tanpa pikir panjang, ku arahkan jariku pada kamar mandi yang terletak di sudut rumah samping dapur itu. Farhan mengikuti arah tunjukku. Beragam corak bahasa di negeri ini, menambah sensasi untuk lebih mendalami dari satu bahasa ke bahasa lain.
 “Yu nikah de’remmah se, mun lah ajelen kattah a kemmiah ntar de’mah pole mun benni ke jeddeng.” (Yu ini gimana sih, kalau berjalan seperti mau pipis gitu mau kemana lagi kalau bukan ke kamar mandi)  kata Fandi dengan gayanya yang sok tahu, menyilangkan tangan di depan dadanya. Aku terkekeh melihat gayanya itu.
Mobil menderu memulai perjalanan yang mungkin sangat panjang, parkir dari satu tempat ke tempat lain. Pemandangan indah yang menarik mata, melewati sebuah area persawahan yang membentang luas dengan udara pagi yang sejuk. Suara burung-burung bernyanyi indah meramaikan bumi pertiwi.
Farhan jingrak-jingkrak dalam mobil melihat seekor burung perkutut bertengger pada orang-orangan sawah yang kemudian terbang karena orang-orangan tersebut bergoyang terterpa angin. Sawah terbentang luas menghijaukan bumi gersang ini. Setelah setengah jam perjalanan, sampailah aku pada pantai yang menjadi perbatasan antara Kabupaten Pamekasan dan Sumenep. Pohon cemara yang baris berjajar menambah kesejukan Pantai Talang Siring ini.
Aku berjalan-jalan di sepanjang pantai bersama Farhan dan Fandi layaknya emak yang menggandeng dua anaknya.
“Emak…emak…minta uang” rengek Fandi menggoda melihat mukaku yang kusut
“Emak derih hongkong, gik ngodeh Yu nah, Cong. Kedih la engak emak-emak.” (emak dari hongkong, Yu nya masih muda, Cong. Masak sudah kayak emak-emak sih)
Ku lihat paman dan bibi asyik menikmati keindahan pantai ini, sedangkan aku harus menjaga ekstra ketat pada dua anak kecil ini agar tidak terlalu jauh bermain ombak.
Setelah berbasah-basah ria menjaga mereka, perjalanan diteruskan ke Museum Kota Sumenep yang biasa dikenal dengan Museum Kraton. Satu jam kemudian, sampailah aku pada Museum yang mempunyai keunikan ini. Bagaimana tidak, Al-Qur’an dengan tinggi 4 meter dan lebar 3 meter dengan berat 500 kilogram terdapat di Museum ini. Konon, Al-Qur’an yang ditulis oleh Raja Sumenep, Sultan Abdur Rahman Pakuningrat hanya dalam waktu satu malam menggunakan tinta Kallam yaitu asap dari lampu tempel, sedangkan alat tulisnya menggunakan bulu ayam.
“Lela, ayo mudun. Ngopo ngelamun ndek kono?” (Lela, ayo turun. Ngapain ngelamun di situ?) kata Man sholeh membuyarkan lamunanku. Aku garuk-garuk kepala yang tidak terasa gatal sama sakali meski kata emak kutu yang bersemayam dalam rambutku terhitung banyak. Aku turun dan mulai memasuki museum ini. Terlihat rapi dengan barang-barang unik dan kuno. Satu jam berputar-putar di museum ini, akhirnya kami shalat dhuhur di sini dan mulai melanjutkan perjalanan.
Aku mengarahkan sopir ke sebuah pulau kecil. Paman dan bibi hanya menurut saja. setengah jam kemudian, sampailah kami di sebuah Pulau kecil yang terhitung sepi namun pemandangannya luar biasa menakjubkan. Air laut yang biru dihiasi ombak-ombak kecil menambah keindahan pulau kecil ini. Sewaktu SMA aku sering bermain-main kesini bersama sekelompokanku. Pantai ini sungguh indah dan pas untuk menghabiskan waktu rekreasi karena sejuk, rindang dan bersih karena memang belum terjamah oleh kebanyakan orang.
Objek wisata ini belum ter-ekspos meluas, hanya beberapa orang yang nampak menikmati keindahan alam ini. Menyayangkan sekali. Pantai seindah ini tak dikenal orang. Pulau Kangean yang masih dalam kabupaten Sumenep ini menyimpan banyak keindahan yang belum ter-ekspos media sekalipun. Di sekitarnya terdapat pulau-pulau kecil yang tak kalah menarik seperti Pulau Saular, Pulau Saredeng Kecil, Pulau Sitabbok, Pulau Sadular Besar dan Pulau Saseel.
Sang mega merah telah bersiap menjemput malam dan bergantilah hari menjadi petang. Karena terasa sangat lelah, kami sekeluarga tertidur pulas di mobil sampai rumah. Lagi-lagi hujan turun di malam hari. Kilat yang menyilaukan mata mengagetkanku disusul dengan petir yang menyambar pohon kelapa di tengah hamparan sawah. Membuat mataku terbelalak dan tak bisa terlelap kembali.
Emak dan  bapak tengah duduk di atas dipan sembari menyantap singkong goreng. Bibi mengeluarkan plastik putih yang berisi makanan yang telah dibeli waktu di Museum Keraton tadi siang. Kami berbincang-bincang dan bercerita tentang melancong dalam sehari ini.
“Nik, lagguk bedheh Kerapan Sapeh e Sampang.” (Nik, besok ada Kerapan Sapi di Sampang) Kata emak sambil makan kerupuk dengan petis
“Enggiy, mak? Man Sholeh nyengo’ah napah bunten?” (iya, Mak? Man Sholeh mau lihat apa tidak?)
“iyo, ayo kesuk ndelok, Nduk” (iya, ayo besok lihat, Nduk)
Keesokan harinya, kami mulai bersiap-siap menuju Kota Sampang tepatnya Lapangan untuk Kerapan Sapi yang berada pada Kabupaten Sampang. Tujuan pertama pada hari kedua.
Terdengar orang-orang yang bersahut-sahutan mendukung kerapannya masing-masing. Di sekeliling lapangan telah dipadati para penonton kerapan sapi. Di sepanjang jalan terlihat kedai-kedai dan pedagang kaki lima yang tak letih menjajakan pada siapa saja yang lewat di sampingnya, rujak manis, rujak cingur, es dan snack-snack. Seorang bapak dengan kumis tebal terlihat sibuk mempromosikan clurit yang dijualnya. Sebuah benda yang dikenal sebagai senjata andalan orang Madura.
Kultur budaya yang masih kental melengkapi keindahan pulau garam ini, segarnya udara dan beningnya air terjun Toroan jatuh bebas ke laut lepas mencuci pikiran yang penat. Air terjun itu jatuh dan terus jatuh tanpa henti menyisakan lumut-lumut hijau pada batu raksasa di sekitarnya. Mungkin jika tidak hati-hati, orang akan terpeleset karenanya.
“Lela, sek ono piro wisata ndek Sampang iki?”(Lela, masih ada berapa wisata di Sampang ini?) tanya bibi kepadaku. Aku sibuk menyisir rambutku yang basah terkena air terjun tadi.
“Masih banyak, Bi. Kalau dijelajahi satu persatu, bisa keok lho, Bi.” jawabku sambil terkekeh menggunakan bahasa Indonesia dengan logat kemadura-maduraan. Membayangkan menjelajahi seluruh objek wisata Sampang, pulang-pulang aku harus pijat kayaknya. Paman dan bibi menyambut jawabanku dengan tertawa.
“Ono opo ae seng dorong?” (ada apa saja yang belum dikunjungi?) tanya paman penasaran.
“Gua Macan Sampang, Gua Lebar Sampang, Sumur Daksan Sampang. Apa lagi ya? Lupa deh, Man. Hehehe” jawabku dengan muka konyol.
Perjalanan pulang yang tak jauh beda dengan kemarin, tulang serasa retak dan pisah dengan persendiannya. Di pikiranku hanya terbayang nikmatnya tidur pada kasur dan bantal sambil memeluk jam weker hello kitty pemberian emak. Aku kira sudah usai melancongku kali ini, ternyata mobil paman merapat pada wisata Api Tak Kunjung Padam yang berada di Kabupatenku, Pamekasan tepatnya di desa Tokol Kecamatan Tlanakan.
Mataku perlahan membuka sedikit, kantuk yang telah menggelantung di pelupuk mata tak dapat aku enyahkan. Ku lihat dengan mata sipit nyala api itu dari balik bingkai kaca mobil paman. Selanjutnya aku terlelap terbang bersama mimpi-mimpi yang bercampur-baur.
“Farhan..!” teriakan bibi mengagetkanku hingga aku kejedot sisi mobil. Aku langsung turun karena penasaran ingin melihat apa yang sedang terjadi. Aku perhatikan bibi dengan tangkasnya menggendong Farhan yang terlihat shock dengan apa yang telah dilakukannya. Ternyata Farhan membuat lubang di sekitaran api itu dan lubang tersebut menyemburkan api seperti lubang-lubang lainnya.
Cukup menarik perhatian, aku dan paman mencoba membuat lubang di samping lubang api lainnya. Namun tak ada reaksi munculnya api baru dalam lubang yang kami buat. Tiba-tiba muncul wanita tua yang dikenal sebagai penjaga wisata Api Tak Kunjung Padam ini dan berkata,
“Percuma agebei lobeng makeh benyak mun e sengaja” (percuma membuat lubang kalau disengaja). Kamipun pulang dengan misteri keindahan di hati masing-masing.
...
Harga mati, tak bisa ditawar. Aku tidur dalam seharian ini, ketukan pintu emak nyaris tak terdengar. Kulirik jam yang menempel di dinding kamar. Jam 14.10 WIB, aku loncat dari kasur dan segera mengambil wudhu untuk shalat dhuhur. Membuka pintu dengan cepat dan segera menyela omongan emak. “Lela bejengeh kadek, Mak.” (Lela shalat dulu, Mak)
Usai shalat aku menghampiri emak yang sedang berbincang-bincang dengan keluarga paman. Aku masih memakai mukena yang menempel di badan, biar sekalian shalat ashar nanti pikirku. Aneh, keluarga paman nampak bertambah satu. Ada Najih, putra sulung paman yang sedang kuliah di Jakarta. “lho…menyusul ya, Najih? Sayang, udah setengah melancong ni.” sapaku pada Najih yang kulihat sedang melihat ke arahku.
            “Iya nih, menyusul demi kerinduan pada pulau garam. Gimana usaha garamnya?”
            “Sering lupa kalau ada hujan, hahaha” seisi rumah tertawa terbahak-bahak.
...
“Hey Oreng medureh. Mayuh maen-maen ke Suramadu…” (Hey Orang madura, ayo main-main ke Suramadu) Ajak Najih dengan menirukan bahasa maduraku.
Nadanya terdengar aneh sehingga membuatku tertawa karena dia memang tak pernah berbicara dengan bahasa Madura. “Mayuh bos…”jawabku tergelak
Kamipun berangkat menyusuri desa-desa untuk sekedar bermain-main di Suramadu, Jembatan indah yang menghubungkan Surabaya dan Madura. Jembatan yang tergolong berusia muda karena selesai dan diresmikan pada tahun 2010.
Kami mulai memasuki jembatan ini setelah membayar karcis masuk Tol Suramadu yang hanya 3.000 rupiah untuk sepeda motor dan 30.000 untuk mobil, sesaat kemudian sepeda melesat di atas jembatan yang berangin cukup kencang itu.
            “Najih, percepat lajunya kalau nggak mau terbawa angin.”
            “Iya, Lela. Wah..seru sekali di Suramadu ini. Ambil foto yuk…”
            “Yeee…biar digiring sama Satpol PP ya…hahahaa.”
Setelah putar balik, kami mampir ke stand-stand yang berjejer di pinggiran jalan. Banyak souvenir yang ditawarkan di sana, mulai dari gantungan kunci, baju bertuliskan Suramadu, dan makanan-makanan khas Madura.
            Hari terakhir keluarga Man Sholeh di rumahku, mereka mengajakku untuk wisata religi. Inilah wisata yang aku suka, mengunjungi makam para Kyai dan membaca Al-Qur’an di sana. Bukan niat menyembah tapi hanya mengharap barokah dari Kyai tersebut. Selain Pulau Garam dan Tapal Kuda, Madura juga dikenal sebagai Daerah Santri karena banyaknya Pondok Pesantren dan Kyai-Kyai besar yang tumbuh di Pulau ini.
“Orang Madura itu memiliki sebutan khusus untuk para tokoh agama yaitu Bujuk. Istilah Bujuk biasanya dikaitkan dengan nama tempat kyai itu berasal, kadang juga diambil dari kebiasaan Kyai saat hidup. Seperti Bujuk Sangka yang berasal dari lokasi makamnya yang berada di Desa Banyu Sangka, Kecamatan Tanjung Bumi- Bangkalan. Sementara nama asli dari Kyai tersebut adalah Sayyid Husein.” Ceritaku panjang lebar pada Najih
“Bujuk itu kan yang di sudut ruangan itu ya…?”
“Yeee..itu sih namanya pojok, Jih..hahaha”
Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, sampailah kami pada Makam Syaikhona Cholil yang berada di Kabupaten Bangkalan. Seorang kyai yang dikenal dengan karomahnya, juga ilmu laddunni (ilmu tanpa belajar) yang merupakan ma’unah dari Allah. Makam beliau telah disesaki oleh para peziarah dari berbagai macam daerah. Akhirnya kamipun mengambil posisi di pojok makan dan mengaji bersama.
Usai ziarah, keluarga pamanpun pulang meskipun hujan turun dengan derasnya. Suara petir dan cahaya kilat bersahut-sahutan. Aku pandangi mobil Man Sholeh yang semakin menjauh dan kemudian menghilang tertelan bangunan-bangunan yang ada di sepanjang jalan. Aku kembali teringat pada sesuatu, Tang bujeh…!!! (garamku…!)

Rabu, 26 Desember 2012

Pondok Pesantren dan Kajian Keilmuannya


CSS MoRA Universitas Airlangga tahun 2012

            “Sebuah kitab  nahwu al-Imrithy dalam pembukaannya yang menyebutkan bahwa Nahwu sebagai Bapak dari segala kitab dan Shorrof adalah ibunya”


Pondok pesantren adalah suatu tempat komunitas santri yang mendiami suatu tempat tertentu dengan mendalami ilmu agama secara khusus dengan didampingi oleh para Masyayikh. Istilah pondok pesantren telah dikenal sejak beberapa abad yang lalu. Pondok pesantren berasal dari bahasa arab  funduq yang berarti tempat penginapan dan pesantren berasal dari bahasa Indonesia yang diberi pelesetan oleh orang jawa, asal penyebutan pesantren yaitu dari kata dasar santri yang diberi awalan Pe- dan diberi akhiran –an menjadi Pesantrian. Karena pondok pesantren banyak ditemukan di pulau jawa, maka timbullah tradisi penyebutan nama Pondok Pesantrian menjadi Pondok pesantren seperti yang telah kita kenal sekarang ini. Suatu lembaga keilmuan belum bisa dikatakan pondok pesantren jika belum memenuhi beberapa syarat sebagai berikut; pertama, adanya Kyai atau  pengasuh. Kedua, adanya tempat untuk belajar atau mengaji bisa termasuk masjid. Ketiga, adanya santri dan yang terakhir adalah adanya tempat untuk bermalam untuk para santri. Komponen-komponen ini sangat kompleks dalam pembentukan suatu bangunan yang layak disebut sebagai Pondok Pesantren.
Di dalam pondok pesantren begitu banyak kajian keilmuan yang dikaji dan ditela’ah serta dibedah susunan Nahwu dan Shorrofnya, mengingat sebuah kitab  nahwu al-Imrithy dalam pembukaannya yang menyebutkan bahwa Nahwu sebagai Bapak dari segala kitab dan Shorrof adalah ibunya. Begitu penting mengenal bapak dan ibu dari segala ilmu kitab ini, banyak kitab-kitab yang menerangkan lebih detail lagi tentang dua cabang ilmu ini. Tingkat kitab nahwu untuk pemula sekedar pengenal huruf-huruf yang berhukum jer dan selebihnya terdapat dalam kitab Al-‘Awamil dilanjutkan dengan nahwu wadi’, Al-Jurumiyah, Al-Imrithy, Alfiyah hingga tingkat tinggi seperti Mughniy Al-Labib. Mempelajari kitab Shorrof mulai dari tingkat dasar Amsilah at-tashrifiyah hingga ketingkat tinggi seperti Al-maqsudil Maufud.
Para kyai sangat beragam cabang ilmu yang di dalaminya. Seperti para Ulama’ di Indonesia, KH. Hasyim Asyari pendiri Pondok pesantren Tebu Ireng Jombang yang sekaligus pemerkasa Nahdlotul Ulama’ yang sudah tidak asing di telinga kita, juga cucu emasnya yaitu pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, KH. Abdur Rahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur ini mempunyai ilmu yang dalam dan daya ingat yang sangat kuat serta daya pikatnya dalam memberikan wejangan yang renyah dengan bahasa yang santai dan mengena, kadang dibumbuhi dengan guyonan-guyonan Gus Dur. Meninjau kota tapal kuda juga terkenal dengan sebutan kota garam yang dihubungkan oleh jembatan Suramadu yaitu Kyai Cholil Bangkalan yang terkenal dengan ilmu tashawuf dan ilmu Ladduninya, sebuah Ilmu yang merupakan Ma’unah dari Allah tanpa belajar dengan Ngoyo-ngoyo. Juga Kyai Muhammad As’ad Syamsul Arifin pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah Sukorejo dan  Kyai Hamid Pasuruan yang terkenal dengan Ilmu Tashawufnya. Adapun KH. Sulahak Syarif, pengasuh pondok pesantren Kyai Syarifuddin Lumajang yang terkenal dengan Ilmu Faroidnya dalam kitab yang berjudul “Minhatul Mughits
Sungguh besar pengaruh para Kyai dan segala kajian Ilmunya dalam pengembangan Pondok Pesantren dan para santrinya sebagai bekal untuk menjadi kader-kader pemerjuang agama Islam yang meluas di Indonesia yang mulai dilanda perbedaan pendapat sehingga terkesan bersaing antara satu pemahaman dengan pemahaman lain. Namun, dengan mengingat Sabda Rasulullah, “Ikhtilafu ummatiy rohmatun” yaitu perbedaan di antara ummatku adalah rahmat. Para pemegang pemahaman dapat hidup rukun menuju masyarakat yang madani.