Jumat, 28 Desember 2012

PULAU GARAM



Pantai Siring Kemuning Pamekasan tempatku tinggal. Hidup di pantai sungguh menyenangkan. Gemuruh ombak dan kicauan burung pantai selalu damai terdengar sebagai musik pembuka setiap pagi dan kadang membuat ‘galau’ jika musim hujan begini. Hati was-was akan datangnya badai tanpa diduga-duga. Membayangkan rumah hanyut bersama air mata yang tiada artinya jika tak punya cukup modal ketegaran.
Suasana petang yang mencekam, angin terdengar jelas berhembus di sela-sela ribuan rintik hujan disertai petir yang menggelegar memekakkan telinga. Terdengar suara sayup-sayup emak memanggilku dari arah dapur.
“Lela, mareh e yangkes bujennah gellek?” (Lela, sudah diambil garamnya tadi?).
Pertanyaan itu membuatku harus menepuk keningku sendiri. Lagi-lagi lupa! Tadi pagi emak memintaku untuk mengamankan garam yang sedang dijemur jika hujan datang. Tanpa menjawab panggilan emak, aku menghampiri tempat garam itu dijemur. Dugaanku benar, garam itu telah meleleh tersentuh air hujan yang begitu derasnya. Dengan wajah pucat pasi aku menghampiri emak yang sedang memasak nasi goreng. Suaraku pelan dan gemetar.
“Kuleh keloppaen, seporannah giy, Mak.” (Saya lupa mak, maaf ya, Mak)
Emak batuk kecil kemudian tersenyum tanda memaafkan, tapi aku tahu pasti dia tak ingin melihatku bersedih. Aku melahap nasi goreng bersama emak dan bapak dengan perasaan sedikit canggung karena kejadian tadi. Namun emak berusaha tenang menutupi musibah tadi di depan bapak.
            Suasana pantai di sore hari membuat hati damai, gemericik ombak yang sedang surut bersahut-sahutan. Mega merah bertengger di ufuk barat mengintip dunia, aku tak ada pekerjaan lain selain membantu emak memasukkan kembali garam yang telah dijemur kedalam rumah. Begitu setiap harinya.
            Man Suleman datang membawa berkat yang telah memenuhi tangannya. Beliau menghampiri aku dan emak yang sedang duduk menikmati semilir angin pantai.
            “Napah gnikah, Man?” (apa itu, Man?) tanyaku penasaran
            “Bedeh titipan derih Man Ja’far gellek, seporannah skunnik.” (ada sedikit titipan dari Paman Ja’far) Jawab Man Suleman
            “Bedeh napah e compo’en Man Ja’far?” (ada acara apa di rumahnya Man Ja’far?)
            “Konjengan, Bibul a sonnat” (Hajatan, Bibul sunnat)
            “Keso’on, Man”(terima kasih, Man)
            Aku meraih berkat itu dan mulai membukanya bersama emak. Emak masuk ke dalam mencari bapak. Kemudian keluar lagi. Tak ku lihat ada bapak di belakangnya.
            “Kammah bapak, Mak? Toreh de’er bereng.” (mana bapak, Mak? Ayo makan bareng)
            “Bapak tedung mloloh, jhek gellek se tedung, la tedung poleh.” (bapak tidur melulu, tadi udah tidur malah tidur lagi)
            Kamipun makan berkat tadi berdua. Ayam panggang, lezat sekali. Perut terasa sesak, tidak kuat untuk berdiri saking kenyangnya.
Terdengar suara Man Qohhar menjajakan sate supernya dengan mengayuh gerobak sate itu. Sate Man Qohhar terkenal dengan bumbu kacangnya yang lezat membuat perutku garuk-garuk lagi.
“Satte..satte…bumbu kacang satte satte….sattenya, Non.” (sate..sate…bumbu kacang sate..satenya, Non) tawarnya kepadaku
“Yahh..Man Qohhar detheng telat. Lela pon de’er ollennah konjengen.”(yahh.. Man Qohhar datang telat. lela udah makan dapat dari hajatan)
“Oye deh…da daa, Non… satte satte…”
...
Suatu hari, keluargaku kedatangan saudara bapak dari Jawa, hanya bapak yang bisa berbincang-bincang dengan mereka menggunakan bahasa jawa. Aku mengerti apa yang mereka bicarakan, tapi aku tidak bisa melafalkan dalam bahasa mereka. Lebih-lebih emak yang hanya bisa melihat mereka bicara tanpa mengerti artinya. Sesekali bapak menerjemahkan omongan mereka agar emak mengerti. Hanya anggukan-anggukan kecil sebagai respon dari emak.
Mereka berkunjung ke Pulau Garam ini untuk menghabiskan waktu liburan selama seminggu lamanya. Terpaksa aku menjadi pengarah jalan dadakan, untungnya aku masih ingat meskipun sedikit jalan-jalan menuju wisata di kota ini, berkat pengalamanku dulu waktu SMA bersama teman-teman seperjuangan. Bila sekolah libur, langsung melancong ke tempat-tempat wisata yang belum tentu banyak orang mengetahuinya ini. Kalau lagi banyak fulus alias gajian dari hasil menjaga toko, langsung bareng-bareng wisata kuliner di dalam kota yang penuh dengan ragam ciri khas ini. Bebek Sinjay makanan favorit khas Bangkalan dan menjadi salah satu ikon Madura dalam kulinernya. Harga tidak mahal bagi yang berduit, kalau bagiku, mendingan makan nasi pecel atau tempe penyet saja kalau belum gajian.
Fajar telah nampak di ufuk timur, aku terbangun dan segera mandi lalu shalat shubuh berjama’ah bersama keluargaku dan keluarga paman. Rencananya, lepas shubuh kita akan berangkat melancong. Aku sudah berias secantik mungkin, tapi tetap saja adikku yang paling bandel, Fandi mengejek.
“Yu Lela paggun jubek.” (Mbak Lela tetap jelek)
“Iyeh, mun Yu jubek, Fandi sajen jubek.” (iya, kalau Yu jelek, Fandi tambah jelek)
Yu adalah panggilan untuk kakak perempuan bagi orang Madura dan Cak panggilan untuk kakak laki-laki. Sedangkan panggilan untuk adik laki-laki adalah Kacong dan Nik untuk adik perempuan.
“ciyuuuss?? Miepah?” sahut Fandi dengan centil.
“hahh?! Nak-kanak kinnik la ajer bahasa tak genna yeh…jhek biasa agih, Cong.” (hahh?! Anak kecil kok sudah belajar bahasa yang nggak beres ya…jangan dibiasakan, Cong.”
. Tiba-tiba datang Farhan, anak Man Sholeh yang berumur sekitar 5 tahun dengan kaki setengah agak pincang seperti menahan pipis. Mukanya terlihat kusut dan dahinya terlipat.
“Entarrah demmah, Cong?” (mau kemana, Cong?)
“Pundhi jedenge nggeh, Mbak?” (mana kamar mandinya ya, Mbak?)
 Untuk kali ini aku benar-benar tidak tahu, apa artinya bahasa jawa itu. Kayaknya sih itu bahasa jawa yang kromo inggil, seingatku pada pelajaran bahasa daerah waktu SD. Tapi satu kata yang aku tangkap, yaitu jeddeng sama dengan bahasaku yang artinya kamar mandi. Tanpa pikir panjang, ku arahkan jariku pada kamar mandi yang terletak di sudut rumah samping dapur itu. Farhan mengikuti arah tunjukku. Beragam corak bahasa di negeri ini, menambah sensasi untuk lebih mendalami dari satu bahasa ke bahasa lain.
 “Yu nikah de’remmah se, mun lah ajelen kattah a kemmiah ntar de’mah pole mun benni ke jeddeng.” (Yu ini gimana sih, kalau berjalan seperti mau pipis gitu mau kemana lagi kalau bukan ke kamar mandi)  kata Fandi dengan gayanya yang sok tahu, menyilangkan tangan di depan dadanya. Aku terkekeh melihat gayanya itu.
Mobil menderu memulai perjalanan yang mungkin sangat panjang, parkir dari satu tempat ke tempat lain. Pemandangan indah yang menarik mata, melewati sebuah area persawahan yang membentang luas dengan udara pagi yang sejuk. Suara burung-burung bernyanyi indah meramaikan bumi pertiwi.
Farhan jingrak-jingkrak dalam mobil melihat seekor burung perkutut bertengger pada orang-orangan sawah yang kemudian terbang karena orang-orangan tersebut bergoyang terterpa angin. Sawah terbentang luas menghijaukan bumi gersang ini. Setelah setengah jam perjalanan, sampailah aku pada pantai yang menjadi perbatasan antara Kabupaten Pamekasan dan Sumenep. Pohon cemara yang baris berjajar menambah kesejukan Pantai Talang Siring ini.
Aku berjalan-jalan di sepanjang pantai bersama Farhan dan Fandi layaknya emak yang menggandeng dua anaknya.
“Emak…emak…minta uang” rengek Fandi menggoda melihat mukaku yang kusut
“Emak derih hongkong, gik ngodeh Yu nah, Cong. Kedih la engak emak-emak.” (emak dari hongkong, Yu nya masih muda, Cong. Masak sudah kayak emak-emak sih)
Ku lihat paman dan bibi asyik menikmati keindahan pantai ini, sedangkan aku harus menjaga ekstra ketat pada dua anak kecil ini agar tidak terlalu jauh bermain ombak.
Setelah berbasah-basah ria menjaga mereka, perjalanan diteruskan ke Museum Kota Sumenep yang biasa dikenal dengan Museum Kraton. Satu jam kemudian, sampailah aku pada Museum yang mempunyai keunikan ini. Bagaimana tidak, Al-Qur’an dengan tinggi 4 meter dan lebar 3 meter dengan berat 500 kilogram terdapat di Museum ini. Konon, Al-Qur’an yang ditulis oleh Raja Sumenep, Sultan Abdur Rahman Pakuningrat hanya dalam waktu satu malam menggunakan tinta Kallam yaitu asap dari lampu tempel, sedangkan alat tulisnya menggunakan bulu ayam.
“Lela, ayo mudun. Ngopo ngelamun ndek kono?” (Lela, ayo turun. Ngapain ngelamun di situ?) kata Man sholeh membuyarkan lamunanku. Aku garuk-garuk kepala yang tidak terasa gatal sama sakali meski kata emak kutu yang bersemayam dalam rambutku terhitung banyak. Aku turun dan mulai memasuki museum ini. Terlihat rapi dengan barang-barang unik dan kuno. Satu jam berputar-putar di museum ini, akhirnya kami shalat dhuhur di sini dan mulai melanjutkan perjalanan.
Aku mengarahkan sopir ke sebuah pulau kecil. Paman dan bibi hanya menurut saja. setengah jam kemudian, sampailah kami di sebuah Pulau kecil yang terhitung sepi namun pemandangannya luar biasa menakjubkan. Air laut yang biru dihiasi ombak-ombak kecil menambah keindahan pulau kecil ini. Sewaktu SMA aku sering bermain-main kesini bersama sekelompokanku. Pantai ini sungguh indah dan pas untuk menghabiskan waktu rekreasi karena sejuk, rindang dan bersih karena memang belum terjamah oleh kebanyakan orang.
Objek wisata ini belum ter-ekspos meluas, hanya beberapa orang yang nampak menikmati keindahan alam ini. Menyayangkan sekali. Pantai seindah ini tak dikenal orang. Pulau Kangean yang masih dalam kabupaten Sumenep ini menyimpan banyak keindahan yang belum ter-ekspos media sekalipun. Di sekitarnya terdapat pulau-pulau kecil yang tak kalah menarik seperti Pulau Saular, Pulau Saredeng Kecil, Pulau Sitabbok, Pulau Sadular Besar dan Pulau Saseel.
Sang mega merah telah bersiap menjemput malam dan bergantilah hari menjadi petang. Karena terasa sangat lelah, kami sekeluarga tertidur pulas di mobil sampai rumah. Lagi-lagi hujan turun di malam hari. Kilat yang menyilaukan mata mengagetkanku disusul dengan petir yang menyambar pohon kelapa di tengah hamparan sawah. Membuat mataku terbelalak dan tak bisa terlelap kembali.
Emak dan  bapak tengah duduk di atas dipan sembari menyantap singkong goreng. Bibi mengeluarkan plastik putih yang berisi makanan yang telah dibeli waktu di Museum Keraton tadi siang. Kami berbincang-bincang dan bercerita tentang melancong dalam sehari ini.
“Nik, lagguk bedheh Kerapan Sapeh e Sampang.” (Nik, besok ada Kerapan Sapi di Sampang) Kata emak sambil makan kerupuk dengan petis
“Enggiy, mak? Man Sholeh nyengo’ah napah bunten?” (iya, Mak? Man Sholeh mau lihat apa tidak?)
“iyo, ayo kesuk ndelok, Nduk” (iya, ayo besok lihat, Nduk)
Keesokan harinya, kami mulai bersiap-siap menuju Kota Sampang tepatnya Lapangan untuk Kerapan Sapi yang berada pada Kabupaten Sampang. Tujuan pertama pada hari kedua.
Terdengar orang-orang yang bersahut-sahutan mendukung kerapannya masing-masing. Di sekeliling lapangan telah dipadati para penonton kerapan sapi. Di sepanjang jalan terlihat kedai-kedai dan pedagang kaki lima yang tak letih menjajakan pada siapa saja yang lewat di sampingnya, rujak manis, rujak cingur, es dan snack-snack. Seorang bapak dengan kumis tebal terlihat sibuk mempromosikan clurit yang dijualnya. Sebuah benda yang dikenal sebagai senjata andalan orang Madura.
Kultur budaya yang masih kental melengkapi keindahan pulau garam ini, segarnya udara dan beningnya air terjun Toroan jatuh bebas ke laut lepas mencuci pikiran yang penat. Air terjun itu jatuh dan terus jatuh tanpa henti menyisakan lumut-lumut hijau pada batu raksasa di sekitarnya. Mungkin jika tidak hati-hati, orang akan terpeleset karenanya.
“Lela, sek ono piro wisata ndek Sampang iki?”(Lela, masih ada berapa wisata di Sampang ini?) tanya bibi kepadaku. Aku sibuk menyisir rambutku yang basah terkena air terjun tadi.
“Masih banyak, Bi. Kalau dijelajahi satu persatu, bisa keok lho, Bi.” jawabku sambil terkekeh menggunakan bahasa Indonesia dengan logat kemadura-maduraan. Membayangkan menjelajahi seluruh objek wisata Sampang, pulang-pulang aku harus pijat kayaknya. Paman dan bibi menyambut jawabanku dengan tertawa.
“Ono opo ae seng dorong?” (ada apa saja yang belum dikunjungi?) tanya paman penasaran.
“Gua Macan Sampang, Gua Lebar Sampang, Sumur Daksan Sampang. Apa lagi ya? Lupa deh, Man. Hehehe” jawabku dengan muka konyol.
Perjalanan pulang yang tak jauh beda dengan kemarin, tulang serasa retak dan pisah dengan persendiannya. Di pikiranku hanya terbayang nikmatnya tidur pada kasur dan bantal sambil memeluk jam weker hello kitty pemberian emak. Aku kira sudah usai melancongku kali ini, ternyata mobil paman merapat pada wisata Api Tak Kunjung Padam yang berada di Kabupatenku, Pamekasan tepatnya di desa Tokol Kecamatan Tlanakan.
Mataku perlahan membuka sedikit, kantuk yang telah menggelantung di pelupuk mata tak dapat aku enyahkan. Ku lihat dengan mata sipit nyala api itu dari balik bingkai kaca mobil paman. Selanjutnya aku terlelap terbang bersama mimpi-mimpi yang bercampur-baur.
“Farhan..!” teriakan bibi mengagetkanku hingga aku kejedot sisi mobil. Aku langsung turun karena penasaran ingin melihat apa yang sedang terjadi. Aku perhatikan bibi dengan tangkasnya menggendong Farhan yang terlihat shock dengan apa yang telah dilakukannya. Ternyata Farhan membuat lubang di sekitaran api itu dan lubang tersebut menyemburkan api seperti lubang-lubang lainnya.
Cukup menarik perhatian, aku dan paman mencoba membuat lubang di samping lubang api lainnya. Namun tak ada reaksi munculnya api baru dalam lubang yang kami buat. Tiba-tiba muncul wanita tua yang dikenal sebagai penjaga wisata Api Tak Kunjung Padam ini dan berkata,
“Percuma agebei lobeng makeh benyak mun e sengaja” (percuma membuat lubang kalau disengaja). Kamipun pulang dengan misteri keindahan di hati masing-masing.
...
Harga mati, tak bisa ditawar. Aku tidur dalam seharian ini, ketukan pintu emak nyaris tak terdengar. Kulirik jam yang menempel di dinding kamar. Jam 14.10 WIB, aku loncat dari kasur dan segera mengambil wudhu untuk shalat dhuhur. Membuka pintu dengan cepat dan segera menyela omongan emak. “Lela bejengeh kadek, Mak.” (Lela shalat dulu, Mak)
Usai shalat aku menghampiri emak yang sedang berbincang-bincang dengan keluarga paman. Aku masih memakai mukena yang menempel di badan, biar sekalian shalat ashar nanti pikirku. Aneh, keluarga paman nampak bertambah satu. Ada Najih, putra sulung paman yang sedang kuliah di Jakarta. “lho…menyusul ya, Najih? Sayang, udah setengah melancong ni.” sapaku pada Najih yang kulihat sedang melihat ke arahku.
            “Iya nih, menyusul demi kerinduan pada pulau garam. Gimana usaha garamnya?”
            “Sering lupa kalau ada hujan, hahaha” seisi rumah tertawa terbahak-bahak.
...
“Hey Oreng medureh. Mayuh maen-maen ke Suramadu…” (Hey Orang madura, ayo main-main ke Suramadu) Ajak Najih dengan menirukan bahasa maduraku.
Nadanya terdengar aneh sehingga membuatku tertawa karena dia memang tak pernah berbicara dengan bahasa Madura. “Mayuh bos…”jawabku tergelak
Kamipun berangkat menyusuri desa-desa untuk sekedar bermain-main di Suramadu, Jembatan indah yang menghubungkan Surabaya dan Madura. Jembatan yang tergolong berusia muda karena selesai dan diresmikan pada tahun 2010.
Kami mulai memasuki jembatan ini setelah membayar karcis masuk Tol Suramadu yang hanya 3.000 rupiah untuk sepeda motor dan 30.000 untuk mobil, sesaat kemudian sepeda melesat di atas jembatan yang berangin cukup kencang itu.
            “Najih, percepat lajunya kalau nggak mau terbawa angin.”
            “Iya, Lela. Wah..seru sekali di Suramadu ini. Ambil foto yuk…”
            “Yeee…biar digiring sama Satpol PP ya…hahahaa.”
Setelah putar balik, kami mampir ke stand-stand yang berjejer di pinggiran jalan. Banyak souvenir yang ditawarkan di sana, mulai dari gantungan kunci, baju bertuliskan Suramadu, dan makanan-makanan khas Madura.
            Hari terakhir keluarga Man Sholeh di rumahku, mereka mengajakku untuk wisata religi. Inilah wisata yang aku suka, mengunjungi makam para Kyai dan membaca Al-Qur’an di sana. Bukan niat menyembah tapi hanya mengharap barokah dari Kyai tersebut. Selain Pulau Garam dan Tapal Kuda, Madura juga dikenal sebagai Daerah Santri karena banyaknya Pondok Pesantren dan Kyai-Kyai besar yang tumbuh di Pulau ini.
“Orang Madura itu memiliki sebutan khusus untuk para tokoh agama yaitu Bujuk. Istilah Bujuk biasanya dikaitkan dengan nama tempat kyai itu berasal, kadang juga diambil dari kebiasaan Kyai saat hidup. Seperti Bujuk Sangka yang berasal dari lokasi makamnya yang berada di Desa Banyu Sangka, Kecamatan Tanjung Bumi- Bangkalan. Sementara nama asli dari Kyai tersebut adalah Sayyid Husein.” Ceritaku panjang lebar pada Najih
“Bujuk itu kan yang di sudut ruangan itu ya…?”
“Yeee..itu sih namanya pojok, Jih..hahaha”
Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, sampailah kami pada Makam Syaikhona Cholil yang berada di Kabupaten Bangkalan. Seorang kyai yang dikenal dengan karomahnya, juga ilmu laddunni (ilmu tanpa belajar) yang merupakan ma’unah dari Allah. Makam beliau telah disesaki oleh para peziarah dari berbagai macam daerah. Akhirnya kamipun mengambil posisi di pojok makan dan mengaji bersama.
Usai ziarah, keluarga pamanpun pulang meskipun hujan turun dengan derasnya. Suara petir dan cahaya kilat bersahut-sahutan. Aku pandangi mobil Man Sholeh yang semakin menjauh dan kemudian menghilang tertelan bangunan-bangunan yang ada di sepanjang jalan. Aku kembali teringat pada sesuatu, Tang bujeh…!!! (garamku…!)

Rabu, 26 Desember 2012

Pondok Pesantren dan Kajian Keilmuannya


CSS MoRA Universitas Airlangga tahun 2012

            “Sebuah kitab  nahwu al-Imrithy dalam pembukaannya yang menyebutkan bahwa Nahwu sebagai Bapak dari segala kitab dan Shorrof adalah ibunya”


Pondok pesantren adalah suatu tempat komunitas santri yang mendiami suatu tempat tertentu dengan mendalami ilmu agama secara khusus dengan didampingi oleh para Masyayikh. Istilah pondok pesantren telah dikenal sejak beberapa abad yang lalu. Pondok pesantren berasal dari bahasa arab  funduq yang berarti tempat penginapan dan pesantren berasal dari bahasa Indonesia yang diberi pelesetan oleh orang jawa, asal penyebutan pesantren yaitu dari kata dasar santri yang diberi awalan Pe- dan diberi akhiran –an menjadi Pesantrian. Karena pondok pesantren banyak ditemukan di pulau jawa, maka timbullah tradisi penyebutan nama Pondok Pesantrian menjadi Pondok pesantren seperti yang telah kita kenal sekarang ini. Suatu lembaga keilmuan belum bisa dikatakan pondok pesantren jika belum memenuhi beberapa syarat sebagai berikut; pertama, adanya Kyai atau  pengasuh. Kedua, adanya tempat untuk belajar atau mengaji bisa termasuk masjid. Ketiga, adanya santri dan yang terakhir adalah adanya tempat untuk bermalam untuk para santri. Komponen-komponen ini sangat kompleks dalam pembentukan suatu bangunan yang layak disebut sebagai Pondok Pesantren.
Di dalam pondok pesantren begitu banyak kajian keilmuan yang dikaji dan ditela’ah serta dibedah susunan Nahwu dan Shorrofnya, mengingat sebuah kitab  nahwu al-Imrithy dalam pembukaannya yang menyebutkan bahwa Nahwu sebagai Bapak dari segala kitab dan Shorrof adalah ibunya. Begitu penting mengenal bapak dan ibu dari segala ilmu kitab ini, banyak kitab-kitab yang menerangkan lebih detail lagi tentang dua cabang ilmu ini. Tingkat kitab nahwu untuk pemula sekedar pengenal huruf-huruf yang berhukum jer dan selebihnya terdapat dalam kitab Al-‘Awamil dilanjutkan dengan nahwu wadi’, Al-Jurumiyah, Al-Imrithy, Alfiyah hingga tingkat tinggi seperti Mughniy Al-Labib. Mempelajari kitab Shorrof mulai dari tingkat dasar Amsilah at-tashrifiyah hingga ketingkat tinggi seperti Al-maqsudil Maufud.
Para kyai sangat beragam cabang ilmu yang di dalaminya. Seperti para Ulama’ di Indonesia, KH. Hasyim Asyari pendiri Pondok pesantren Tebu Ireng Jombang yang sekaligus pemerkasa Nahdlotul Ulama’ yang sudah tidak asing di telinga kita, juga cucu emasnya yaitu pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, KH. Abdur Rahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur ini mempunyai ilmu yang dalam dan daya ingat yang sangat kuat serta daya pikatnya dalam memberikan wejangan yang renyah dengan bahasa yang santai dan mengena, kadang dibumbuhi dengan guyonan-guyonan Gus Dur. Meninjau kota tapal kuda juga terkenal dengan sebutan kota garam yang dihubungkan oleh jembatan Suramadu yaitu Kyai Cholil Bangkalan yang terkenal dengan ilmu tashawuf dan ilmu Ladduninya, sebuah Ilmu yang merupakan Ma’unah dari Allah tanpa belajar dengan Ngoyo-ngoyo. Juga Kyai Muhammad As’ad Syamsul Arifin pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah Sukorejo dan  Kyai Hamid Pasuruan yang terkenal dengan Ilmu Tashawufnya. Adapun KH. Sulahak Syarif, pengasuh pondok pesantren Kyai Syarifuddin Lumajang yang terkenal dengan Ilmu Faroidnya dalam kitab yang berjudul “Minhatul Mughits
Sungguh besar pengaruh para Kyai dan segala kajian Ilmunya dalam pengembangan Pondok Pesantren dan para santrinya sebagai bekal untuk menjadi kader-kader pemerjuang agama Islam yang meluas di Indonesia yang mulai dilanda perbedaan pendapat sehingga terkesan bersaing antara satu pemahaman dengan pemahaman lain. Namun, dengan mengingat Sabda Rasulullah, “Ikhtilafu ummatiy rohmatun” yaitu perbedaan di antara ummatku adalah rahmat. Para pemegang pemahaman dapat hidup rukun menuju masyarakat yang madani.

Kamis, 04 Oktober 2012

HUKUM HAM dan DEMOKRASI dalam ISLAM


BAB I

PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang

Agama Islam yang mulia telah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia menuju kebahagian dunia dan akherat. Namun banyak orang yang tidak mengetahuinya dan banyak pula yang enggan menerimanya dengan dalih-dalih yang beraneka ragam banyaknya.

Tidak dipungkiri lagi mengajak manusia untuk taat kepada Allah dan beribadah hanya kepadaNya dizaman ini secara umum mengalami kesulitan dan kendala. Terlalu banyak pemikiran dan isu yang menghalangi manusia mencapai kebenaran yang dibawa agama Islam ini. Sebenarnya Allah telah menjanjikan kemenangan dan kejayaan untuk islam dalam firman-Nya (Q.S at-Taubah : 33) yang artinya : “Dialah Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai”.

Kemenangan islam ini diwujudkan dengan dakwah yang membutuhkan perencanaan, pemilihan uslub yang pas dan pengenalan terhadap realita yang digeluti masyarakat dalam masyarakat islam maupun non islam.

Demikian juga membutuhkan persiapan dan pembekalan para da’i agar siap mengemban tugas menyebarkan kalimatullah diantara manusia dan untuk perbaikan hati dan jiwa mereka. Semua ini ada dalam al-Qur`an dan sunnah Nabi yang menjelaskan uslub dakwah yang baik dan pas. Juga ada contoh yang baik dalam menjalankan dakwah dan mengajak bicara manusia serta perbaikan jiwa dan hati mereka. Demikian juga di zaman kenabian telah ditetapkan ushul dakwah dan adab-adabnya.

Mengenal hal ini merupakan bekal yang bisa menjadikan da’i memiliki senjata dalam dakwahnya. Tidaklah bagus amalan da’i di zaman apapun dan dimanapun kecuali dengan memiliki ilmu kitabullah dan sunnah, mempelajari ilmu-ilmu islam baik aqidah maupun syariat dan berhias dengan akhlak yang mulia serta ittiba’ dalam menyampaikan dan menasehati umat ini sesuai dengan perbedaan waktu dan tempat.

Dalam kajian singkat ini kita mencoba menjelaskan permasalahan Konsep Hukum, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi dalam Pandangan Islam dengan harapan bisa mengetahui sebatas mana kebenaran isu ini dan syubhat yang dilontarkan kepada kaum muslimin seputarnya.


1.2 Rumusan Masalah

a.    Bagaimana hukum dalam islam?

b.     Apa pengertian HAM?

c.     Apa perbedaan prinsip HAM barat dan dalam Islam?

d.     Bagaimana demokrasi dalam Islam?


1.3 Tujuan

            Penulisan makalah ini bertujuan untuk bertambahnya pemahaman konsepsi hukum dalam Islam, HAM dan Demokrasi dalam Islam serta keterkaitan antara ketiganya. Dan agar dapat membedakan antara pengertian HAM Barat dan HAM dalam pandangan Islam.


BAB 2

PEMBAHASAN


2.1 Hukum dalam Islam

Hukum merupakan seperangkat norma atau aturan yang dibuat dengan cara-cara tertentu dan ditegakkan oleh pemimpin sehingga tercapainya hak-hak manusia. Bentuk hukum bisa berupa hukum tertulis dan tidak tertulis. Hukum tertulis berupa perundang-undangan yang telah disusun sistematis oleh negara demi kesejahteraan rakyat.
Demikian hukum tidak tertulis yaitu seperti hukum adat, hukum yang muncul karena kebiasaan atau adanya pengaruh-pengaruh eksternal maupun internal. Hukum adat terjadi sebagian karena pengaruh kepercayaan masing-masing. Seperti Bali mayoritas penganut agama hindu, sehingga seseorangpun jika tinggal disana sedikit banyak akan terpengaruh dan mengikuti adat dari Hindu, pengaruh-pengaruh spiritual seperti kepercayaan terhadap mistis menjadikan seseorang melakukan adat yang mungkin orang modern sekarang sangat tidak masuk akal seperti memberi sesajen diperempatan jalan dan lain sebagainya.
hukum dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia satu sama lain dan harta bendanya. Tidak dengan hukum Islam yang langsung  bersumber dari Firman Allah dan sebarkan melalui Rasul-Nya. Hukum Allah lebih luas cakupannya, karena tidak hanya membahas seputar mengatur hubungan manusia dengan manusia melainkan juga hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan dirinya sendiri masyarakat dan alam sekitarnya.

Hukum Islam dalam pengertian secara syar’i digariskan dalam 2 garis besar yakni ;
Ibadah dan Mu’amalah.

1.      Ibadah adalah amalan yang wajib dilakukan oleh seorang muslim dalam menjalankan hubungan dengan Allah, seperti shalat, membayar zakat, melaksanakan ibadah haji bagi yang telah mampu. Ini adalah tata cara hukum dalam islam yang mutlaq, tidak pernah berubah hukumnya, tidak pernah berkurang bahkan bertambah. Dengan demikian tidak mungkin terjadi proses yang menyebabkan perubahan secara asasi menurut hukum, susunan dan tata cara ibadah tersebut. Yang mungkin berubah hanyalaah alat-alat yang semakin modern dan pelaksanaannya.

2.      Mu’amalah mencakup hungan antara manusia dengan sesamanya dalam berusaha mensejahterakan kehidupan sosial mereka dengan usaha, berupa jual-beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, persekutuan dan lain-lain.

Sumber sumber hukum islam bisa kita fahami dari ayat Allah dalam surat Q.S An-Nisa’; 59


Artinya : “wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu. Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia pada Allah (Al-qur’an) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepadaa Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik(akibatnya)”.

   Dari ayat tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa umat islam dalam menjalankan agamanya harus didasarkan urutan :

1.        Selalu mentaati Allah dan mengindahkan seluruh ketentuan yang berlaku dalam Al-qur’an

2.        Mentaati Rasulullah dan memahami seluruh sunnah-sunnahnya

3.        Mentaati ulil amri

4.        Mengembalikan kepada Al-qur’an dan alhadis jika terjadi perbedaan dalam menetapkan hukum

Untuk memahami alqur’an dan alhadis tidaklah cukup dengan memaknainya secara literlijk, ada suatu hal yang harus dipertimbangkan ketika membaca sebuah teks-teks alqur’an dan alhadist, yaitu seperti kondisi masyarakat pada saat turunnya ayat, juga harus melihat dari segi bahasa. Contohnya Nahwu, balaghah, ilmu mantek.
berkaitan dengan hadist nabawi yang mengatakan bahwa semua Bid’ah adalah sesat, kita tidak bisa memukul kata. Nabi Muhammad SAW dalam hadist tersebut menggunakan lafadz “kullu” yang secara harfiyah berarti seluruh. Namun, pada dasarnya “kullu” tidak selamanya berarti seluruh tetapi berarti juga sebagian. ini bisa kita lihatdalam ayat al-qur’an Surat Anbiya’ ; 30, pada ayat ini, kita bisa melihat bahwa lafadz “kullu” yang ada dihadist nabawi tersebut tidaklah bermakna seluruhnya, tetapi sebagian. Begitu juga dengan Bid’ah, tidak seluruhnya dihukumi haram.

Imam Izzudin bin Abdus salam berpendapat bahwa bid’ah itu dibagi menjadi 5 ; Bid’ah wajibah, muharromat, mandubah, makruhah dan mubahah. Sedangkan Imam Syafi’i membedakan bid’ah menjadi 2 bagian, yakni Bid’ah Sayyiah (bid’ah yang buruk) dan Bid’ah Hasanah (bid’ah kebaikan).

2.2   HAM dalam pandangan Islam

        Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta[1] tanpa mengganggu hak- hak orang lain. Dan hak ini harus dijaga yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah pernah bersabda, “ Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu”.  Dan negara bukan hanya harus menahan diri untuk tidak menyentuh hak-hak asasi ini melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini. Sebagai contoh negara wajib menjamin perlindungan sosial terhadap rakyatnya tanpa melihat perbedaan Ras, jenis kelamin dan sebagainya. Dan Islam sangat menjunjung tinggi hak-hak asasi ini, seperti yang terjadi pada zaman kepemimpinan Abu Bakar as-Shiddiq, beliau memerangi orang –orang yang tidak mau membayar zakat.
begitupun pembelaan Rasullah yang gigih dalam menegakkan HAM ini lewat pertemuan besarnya pada Haji wada’.
Dari Umamah bin Tsa’balah, nabi SAW bersabda, “ Barangsiapa merampak hak seorang muslim, maka dia telah berhak masuk neraka dan haram masuk surga.” Seorang pria berkata, “meskipun itu sesuatu yang kecil?” beliau menjawab, “ meskipun hanya sebatang kayu arak.” HR. Muslim

Islam berbeda dengan sistem lain dalam menyikapi bahwa hak-hak manusia sebagai hamba Allah tidak bisa tergantung pada pemimpin dan Undang-undangnya, melainkan semuanya harus mengacu pada yang telah disyariatkan dalam islam. Sampai shadaqohpun tetap dipandang ebagai hal-hal yang besar lainnya. Misalnya Allah melarang beshadaqoh(berbuat baik) melalui cara yang buruk. “ dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya..” (Q.S Ali Imron ; 267)

Hak dibagi dalam beberapa pengelompokan, yakni :

1.    Hak-hak Alamiyah yang telah diberikan Allah kepada seluruh umat yang diciptakan dari unsur yang sama dan dari sumber yang sama pula. Hak Alamiyah mencakup, hak kebebasan pribadi, beragama dan  hak bekerja.

2.      Hak hidup mecakup hak kepemilikan, hak berkeluarga, hak keamanan, hak keadilan, hak saling membela dan hak keadilan dan persamaan.


2.3   HAM dalam pandangan Barat

Hak asasi manusia ini  muncul setelah Revolusi Perancis, Pada waktu  para tokoh borjuis berkoalisi dengan tokoh-tokoh gereja untuk merampas hak-hak rakyat yang telah mereka miliki sejak lahir. Akibat dari penindasan panjang yang dialami masyarakat Eropa dari kedua kaum ini, muncullah perlawanan rakyat dan yang akhirnya berhasil memaksa para raja mengakui aturan tentang hak asasi manusia. Dalam HAM barat, manusia lah yang menjadi tolak ukur segala sesuatu. Hal ini dikarenakan manusia menjadi pusat segala sesuatu, dan bangsa Barat beranggapan bahwa kebebasan manusia itu merupakan suatu hak asasi.

Secara umum HAM dibagi menjadi dua yaitu:

    Hak asasi alamiah manusia sebagai manusia, yaitu menurut kelahirannya, seperti: hak hidup, hak kebebasan pribadi dan hak bekerja.
    Hak asasi yang diperoleh manusia sebagai bagian dari masyarakat sebagai anggota keluarga dan sebagai individu masyarakat, seperti: hak memiliki, hak berumah-tangga, hak mendapat keamanan, hak mendapat keadilan dan hak persamaan dalam hak.

Terdapat berbagai klasifikasi yang berbeda mengenai hak asasi manusia menurut pemikiran barat, diantaranya :

    Pembagian hak menurut hak materiil yaitu: hak keamanan, kehormatan dan pemilihan serta tempat tinggal, dan hak moril, yang termasuk di dalamnya: hak beragama, hak sosial dan berserikat.
Pembagian hak menjadi tiga: hak kebebasan kehidupan pribadi, hak kebebasan kehidupan rohani, dan hak kebebasan membentuk perkumpulan dan perserikatan.

Pembagian hak asasi ini semata mata hanya untuk membendung pengaruh Sosialisme dan Komunisme, partai-partai politik di Barat mendesak agar negara ikut campur-tangan dalam memberi jaminan hak-hak asasi seperti untuk bekerja dan jaminan sosial.


Perbandingan antara HAM versi Islam dengan Konsep HAM barat

1.       Sisi Sumber Pengambilan Hukumnya

HAM barat dibuat oleh manusia sehingga kebenarannya masih tidak dapat di pertanggung jawabkan atau tidak luput dari kesalahan. Sedangkan HAM dalam islam di ambil dari kitap suci al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah yang tidak berbicara dengan hawa nafsu. Sehingga Ham versi syariat adalah Rabbaniyatul mashdar.

2.      Konsekuensi hukuman

Konsekuensi HAM barat hanyalah sekedar konsep dan harapan yang berasal dari PBB tidak ada paksaan dan konsekuensi hukum dan tidak juga ada konsekuensi bila tidak dapat dijalankan dengan satu hukum undang-undang. Sedangkan HAM dalam islam bersifat abadi, pati, memiliki konsekuensi hukum dan tidak menerima pelaksanaan parsial, penghapusan dan perubahan. Setiap individu harus melaksanakannya dengan berharap pahala dari Allah dan takut dari adzab-Nya. Siapa yang sengaja mentelantarkannya maka pemerintah dalam islam berhak memaksanya untuk melaksanakan dan menerapkan hukuman syar’i atasnya pada keadaan tidak dilaksanakannya hal tersebut.

3.      Lahirnya istilah HAM

HAM dunia pertama kali ada pada tahun 1215 M atau diabad ke 13 Masehi. Sedangkan islam mengenal konsep dan HAM sejak awal munculnya Islam.

4.       Perlindungan HAM dan Jaminannya

Dalam HAM barat perlindungan internasional tidak ada kecuali hanya himbauan etika dan usaha-usaha yang belum sampai pada batas pelaksanaannya. Hal ini dibagi menjadi dua diantaranya yaitu:

a)      Usaha kesepakatan berdasar umum dan pengakuan antara seluruh negara

b)       Usaha meletakkan hukuman yang dipakai untuk menghukum negara yang melanggar HAM.

Hal ini pada dasarnya hanya tersurat saja dan cenderung pada hasrat manusia itu sendiri. Sedangkan HAM dalam islam, HAM tersebut adalah anugerah Allah kepada manusai sebagai pelindung dan penjamin. Hal itu karena:

a.      Suci yang terselubungi kewibawaan dan pemuliaan, dikarenakan  turun dari sisi Allah sehingga menjadi penghalang bagi pribadi dan pemerintah secara sama dari melanggar dan melampai batasannya.

b.      Pemuliaanya bersumber dari dalam diri yang beriman kepada Allah.

c.         Tidak bisa di hilangkan, dihapus dan dirubah.

d.      Tidak ada sikap ektrim baik terlalu melampaui batas atau tidak dihiraukan.

Ditambah lagi untuk menjaga HAM dan syariat, diadakan Hudud syari’at dan aturan peradilan untuk melindungi HAM.

5.       Bersifat universal

Dalam HAM islam memiliki keistimewaan atas selainnya dalam keuniversalan konsep HAM nya. Sebagian HAM dalam islam yang belum tercantum dalam HAM dunia ialah:

a)        Hak anak yatim, dalam HAM internasional hanya ada isyarat pemeliharaan anak yatim saja. Sedangkan dalam islam ada perhatian khusus terhadap anak yatim, penjagaan hak-haknya dan anjuran berbuat baik kepada mereka dengan seluruh jenis kebaikan. Bahkan memberikan pahala atas hal tersebut. Allah berfirman: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.” (an-Nisaa’: 2 ).Bahkan memberikan balasan terhadap orang yang memakan harta yatim dengan zhalim seperti dalam firman Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (an-Nisa`: 10)

b)        Hak orang yang lemah akalnya. Islam memberikan perhatian dan menjaga hak-hak mereka, seperti dijelaskan dalam firman Allah : “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (an-Nisaa’: 5)

c)        Hak Waris. Hak ini banyak diabaikan dan tidak diperhatikan dalam HAM internasional, namun islam memberikan perhatian yang besar atas hak waris ini hingga menjelaskan semua tata cara pembagiannya dengan lengkap dalam al-Qur`an. Seperti dijelaskan dalam firman Allah: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”(an-Nisaa`: 7).

Bahkan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: “Sampaikan bagian warisan kepada ahlinya lalu yang tersisa untuk lelaki yang paling berhak.” (HR al-Bukhori)

d)         Hak membela diri. Hak ini tidak disampaikan juga dalam HAM dunia, Di dalam islam disampaikan Allah dalam beberapa ayat dan juga dalam beberapa hadits, seperti firman Allah: “Bulan Haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati Berlaku hukum qishaash. oleh sebab itu Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 194)

Bahkan Allah perintahkan Jihad dan mempersiapkannya untuk itu, seperti firman Allah : “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (al-Anfaal:60)

e)         Hak memaafkan. Pernah ada muktamar HAM yang diadakan kementrian hukum (Wizarah al-‘Adl) Saudi Arabia pada bulan shofar 1392 H bertepatan dengan bulan maret 1972 M dengan dihadiri sebagian tokoh HAM dunia. Setelah adanya penjelasan tentang HAM versi Syaria tislam, maka Pimpinan delegasi Komisi HAM dunia dalam pertemuan tersebut bernama Mr. Max Braid menyatakan: “Dari sini dan dari negeri islam ini, wajib untuk menampakkan HAM bukan dari negara lain dan wajib bagi ulama muslimin untuk menyebarkan hak-hak yang tidak diketahui oleh internasional dan ketidak tahuan hal ini yang menjadi sebab rusaknya wajah islam dan muslimin serta hukum islam.”

Bahkan salah seorang anggota delegasi sempat berkomentar: “Saya sebagai seorang nashrani mengumumkan bahwa dinegeri ini Allah disembah secara hakekatnya (benar) dan para ilmuwan sepakat menyatakan hukum-hukum al-Qur`an telah menjelaskan masalah HAM setelah mendengarnya dan melihat langsung realita penerapannya.


2.4   Demokrasi Islam

Secara etimologi (lughawi), kata Demokrasi yaitu Democratie berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata : demos yang berarti rakyat dan cratos yang berarti kekuasaan. Lebih dikenal dengan istilah Kedaulatan Rakyat, rakyatlah yang berkuasa dan berhak mengatur dirinya sendiri. Makna kata ‘Kedaulatan’ itu sendiri ialah “sesuatu yang mengendalikan dan melaksanakan aspirasi”.

Secara terminologi (ishtilaahi), Demokrasi secara lugas ialah Sistem Pemerintahan yang secara konseptual memiliki prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka, dikenal istilah vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan).

Demokrasi menurut Islam dapat diartikan seperti musyawarah, mendengarkan pendapat orang banyak untuk mencapai keputusan dengan mengedepankan nilai – nilai keagamaan.

Konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam

1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.

2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya.

3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.

4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah.

5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.

6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama. 

7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga

Banyak kalangan non-muslim (individual dan institusi) yang menilai bahwa tidak terdapat konflik antara Islam dan demokrasi dan mereka ingin melihat dunia Islam dapat membawa perubahan dan transformasi menuju demokrasi. Robin Wright, pakar Timur Tengah dan dunia Islam yang cukup terkenal menulis di Journal of Democracy (1996) bahwa Islam dan budaya Islam bukanlah penghalang bagi terjadinya modernitas politik.

 Dalam menjelaskan sejumlah miskonsepsi umum di Barat, Graham E Fuller (mantan Wakil Direktur National Intelligence Council di CIA) menulis di Jurnal Foreign Affairs: “Kebanyakan peneliti Barat cenderung untuk melihat fenomena politik Islam seakan-akan ia sebuah kupu-kupu dalam kotak koleksi, ditangkap dan disimpan selamanya, atau seperti seperangkat teks baku yang mengatur sebuah jalan tunggal. Inilah mengapa sejumlah sarjana yang mengkaji literatur utama Islam mengklaim bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Seakan-akan ada agama lain yang secara literal membahas demokrasi”. Banyak kalangan sarjana Islam yang kembali mengkaji akar dan khazanah Islam dan secara meyakinkan berkesimpulan bahwa Islam dan demokrasi tidak hanya kompatibel; sebaliknya, asosiasi keduanya tak terhindarkan, karena sistem politik Islam adalah berdasarkan pada Syura (musyawarah). sejumlah intelektual dan sarjana Islam lain yang bersusah payah berusaha mencari titik temu antara dunia Islam dan Barat menuju saling pengertian yang lebih baik berkenaan dengan hubungan antara Islam dan demokrasi. Karena, kebanyakan diskursus yang ada tampak terlalu tergantung dan terpancang pada label yang dipakai secara stereotip oleh sejumlah kalangan. Realitasnya adalah bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan aspek- aspek definisi atau gambaran demokrasi di atas, tetapi yang lebih penting lagi, aspek-aspek tersebut sangat esensial bagi Islam. Apabila kita dapat melepaskan diri dari ikatan label dan semantik, maka akan kita dapatkan bahwa pemerintahan Islam, apabila disaring dari semua aspek yang korelatif, memiliki setidaknya tiga unsur pokok, yang berdasarkan pada petunjuk dan visi Alquran di satu sisi dan preseden Nabi dan empat Khalifah sesudahnya (Khulafa al-Rasyidin) di sisi lain.
          Pertama, konstitusional. Pemerintahan Islam esensinya merupakan sebuah pemerintahan yang `’konstitusional”, di mana konstitusi mewakili kesepakatan rakyat (the governed) untuk diatur oleh sebuah kerangka hak dan kewajiban yang ditentukan dan disepakati. Bagi Muslim, sumber konstitusi adalah Alquran, Sunnah, dan lain-lain yang dianggap relevan, efektif dan tidak bertentangan dengan Alquran dan Sunnah. 
        Kedua, partisipatoris. Sistem politik Islam adalah partisipatoris. Dari pembentukan struktur pemerintahan institusional sampai tahap implementasinya, sistem ini bersifat partisipatoris. Ini berarti bahwa kepemimpinan dan kebijakan akan dilakukan dengan basis partisipasi rakyat secara penuh melalui proses pemilihan populer. Aspek partisipatoris ini disebut proses Syura dalam Islam
    Ketiga, akuntabilitas. Poin ini menjadi akibat wajar esensial bagi sistem konstitusional/partisipatoris. Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung jawab pada rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka Islam di sini bermakna bahwa semua umat Islam secara teologis bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya.



[1] Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 165, Tambahan Lembaran Negara RI No. 3886